Menggenggam Mimpi di Ketinggian: Eksplorasi Gunung Everest
Gunung Everest, yang terletak di pegunungan Himalaya, tertinggi di dunia ketinggian mencapai 8.848,86 meter di atas permukaan laut.
Akhir-akhir ini, jumlah pendaki yang ingin mencapai puncak Everest terus meningkat, membawa dampak positif dan negatif. Menghadapi tantangan yang beragam dan racun lingkungan, Everest adalah tempat yang menuntut kesadaran dan tanggung jawab dari setiap orang yang berusaha menggapainya. Di bawah ini CRAZY CHINA akan membahas berbagai aspek Gunung Everest, mulai dari sejarah penamaan dan pengukuran, tantangan pendakian, proses pelatihan, hingga dampak lingkungan yang dihadapi saat ini.
Sejarah Pengukuran dan Penamaan Gunung Everest
Sejarah pengukuran dan penamaan Gunung Everest dimulai dengan survei geografi yang dikenal sebagai Great Trigonometrical Survey of India pada abad ke-19. Pada saat itu, gunung ini dikenal sebagai “Peak XV” setelah beberapa pengukuran dilakukan menggunakan instrumen survei dari jauh, termasuk dari daerah Darjeeling.
Pada tahun 1856, Sir Andrew Waugh, yang saat itu menjabat sebagai Surveyor General of India, merekomendasikan agar gunung ini dinamai setelah pendahulunya, Sir George Everest. Meski Everest sendiri tidak setuju dengan penamaan tersebut, nama itu tetap diterima secara resmi pada tahun 1865. Nama Everest berasal dari nama keluarga Sir George Everest, yang telah mencurahkan banyak usaha dalam survei geografi di India.
Namun, nama lokal untuk gunung ini juga sangat penting. Dalam bahasa Nepal, Everest dikenal sebagai “Sagarmatha,” yang berarti “Kepala di Langit,” sementara dalam bahasa Tibet, dinamakan “Chomolungma,” yang berarti “Goddess Mother of the World”. Nama-nama ini mencerminkan kultur dan kepercayaan masyarakat sekitar yang menghormati gunung sebagai bagian penting dari kehidupan mereka.
Geografi dan Fitur Alam Gunung Everest
Gunung Everest terletak di wilayah Mahalangur Himal dan memiliki koordinat 27°59′18″N 86°55′31″E. Gunung ini berfungsi sebagai perbatasan antara Nepal dan Tibet, di mana jalur pendakian utama terbagi menjadi dua rute, yaitu dari sisi Tenggara di Nepal dan sisi Utara dari Tibet. Jalur Tenggara, yang sering dianggap sebagai rute standar, adalah jalur favorit bagi para pendaki.
Sementara jalur Utara menawarkan tantangan tersendiri tetapi kurang ramai dibandingkan dengan jalur Tenggara. Secara geologis, Everest dibentuk oleh pergerakan lempeng tektonik, yang membuatnya terus berkembang hingga sesaat ini. Gunung ini memiliki struktur yang bervariasi, terdiri dari berbagai jenis batuan yang mencakup marmer.
Limestone, dan igneous granite di bagian bawah. Di bagian atas, terdapat formasi batuan yang dikenal sebagai Yellow Band, yang memberi warna berbeda pada wajah gunung ini. Lingkungan yang keras dan iklim yang ekstrem menjadikan Everest sebuah tempat yang memukau secara alam dan ilmiah.
Tantangan dan Bahaya Pendakian
Pendakian Gunung Everest tidaklah tanpa risiko dan bahaya. Salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi para pendaki adalah masalah ketinggian. Di atas ketinggian 8.000 meter, dikenal sebagai “zona kematian,” kadar oksigen sangat rendah, yang dapat memicu berbagai gangguan kesehatan seperti penyakit ketinggian dan edema pulmonari.
Selain itu, cuaca di Everest sangatlah tidak menentu. Suhu dapat turun drastis dan badai salju bisa tiba-tiba muncul, yang meningkatkan risiko bagi para pendaki. Salah satu bagian paling berbahaya di jalur pendakian adalah Khumbu Icefall, sebuah area yang dipenuhi retakan dan longsoran es.
Setiap tahun, banyak pendaki yang kehilangan nyawa di sini karena longsoran atau terjatuh ke dalam celah es. Tak hanya itu, pergerakan avalanches dan seracs (struktur es raksasa) menciptakan risiko tambahan bagi siapa pun yang mencoba menaklukkan Everest. Selain tantangan fisik, hal ini juga menuntut ketahanan mental dan strategi pendakian yang baik untuk memastikan keselamatan selama perjalanan.
Metodologi dan Persiapan untuk Pendakian
Pendaki yang ingin berhasil menaklukkan Everest perlu melakukan persiapan yang matang dan sistematis. Seringkali, proses ini dimulai beberapa tahun sebelumnya, di mana pendaki diharuskan untuk mengikuti pelatihan fisik. Pengalaman mendaki di gunung-gunung berukuran lebih kecil sebelum mencicipi pengalaman di Everest.
Pelatihan ini biasanya meliputi penguatan fisik, aklimatisasi, dan pemahaman mendalam tentang teknik pendakian yang benar. Proses pendakian Everest umumnya memakan waktu antara 6 hingga 8 minggu, dengan pendaki melakukan perjalanan ke Base Camp dan melakukan serangkaian pendakian untuk aklimatisasi.
Pendaki akan menghabiskan waktu di berbagai camp yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak. Strategi yang banyak digunakan adalah “climb high, sleep low,” di mana pendaki mendaki ke ketinggian. Yang lebih tinggi pada siang hari dan kembali ke camp yang lebih rendah untuk beristirahat semalaman.
Baca Juga: Akhiri Penderitaan, Panda ‘Tertua’ di China Disuntik Mati
Eksplorasi dan Penjajakan Gunung Everest
Sejak pertama kali ditaklukkan pada tahun 1953, Gunung Everest telah menjadi objek eksplorasi menarik bagi banyak pendaki. Namun, kebangkitan minat terhadap pendakian Everest juga disertai oleh tantangan baru, termasuk kemacetan di jalur pendakian yang mungkin menciptakan situasi berbahaya bagi pendaki.
Dengan popularitas yang terus meningkat, berbagai ekspedisi komersial bermunculan, menawarkan kesempatan untuk mencapai puncak dengan bimbingan profesional dan penyediaan logistik yang lebih baik. Sejarah pendakian Everest mulai sejak awal abad ke-20, ketika tim penjelajah pertama, yang terdiri dari pendaki Inggris, melakukan upaya pada tahun 1921.
Sejak saat itu hingga sekarang, tidak terhitung jumlah pendakian yang telah dilakukan. Mencakup berbagai pencapaian bersejarah, termasuk pendakian solo pertama dan penggunaan oksigen saat mendaki. Meskipun saat ini penggunaan oksigen tetap umum di ketinggian ekstrem. Semakin banyak pendaki yang mengejar prestasi secara lebih alami, berusaha untuk mencapai puncak tanpa bantuan oksigen.
Dampak Lingkungan dan Keberlanjutan
Peningkatan kunjungan ke Gunung Everest tidak hanya membawa dampak bagi para pendaki tetapi juga untuk lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, Everest telah menjadi tempat pembuangan sampah tertinggi di dunia. Dengan disepakatinya banyak limbah plastik, sisa makanan, dan bahkan mayat yang tak terambil sepanjang jalur pendakian.
Dengan semakin banyaknya pendaki yang datang, meningkat pula masalah sampah dan polusi yang dapat mengancam ekosistem di sekitar gunung. Secara khusus, dampak buruk terhadap lingkungan meliputi pencemaran sampah yang terdiri dari botol plastik, tabung oksigen, dan kotoran manusia.
Ketidakmampuan sistem sanitation di area camp juga menambah masalah ini. Pemerintah Nepal telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi masalah ini, termasuk pengenalan strategi deposit untuk memaksa pendaki membawa kembali sampah mereka. Selain itu, organisasi seperti Sagarmatha Pollution Control Committee terus melakukan upaya pembersihan dan edukasi.
Budaya dan Signifikansi Sosial Gunung Everest
Gunung Everest bukan hanya puncak tertinggi di dunia, tetapi juga memiliki makna yang dalam bagi masyarakat lokal, terutama bagi suku Sherpa yang tinggal di sekitarnya. Bagi mereka, Everest adalah simbol spiritual dan identitas budaya mereka. Budaya Sherpa, yang kental dengan tradisi Buddhis dan animisme, sangat terkait dengan gunung ini.
Upacara spiritual dan festival seperti Mani Rimdu menjadi sarana yang mendalam untuk menghormati dan merayakan Everest sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pentingnya gunung ini bagi masyarakat Sherpa juga terletak pada ekonomi yang mengandalkan pariwisata.
Banyak Sherpa yang bekerja sebagai pemandu pendakian dan portir, mengandalkan keterampilan mendaki. Pengetahuan tentang lingkungan untuk memberikan dukungan bagi pendaki yang berusaha mencapai puncak. Mereka memainkan peranan penting dan menjadi pahlawan tak terlihat di balik banyak ekspedisi.
Kesimpulan
Gunung Everest lebih dari sekadar gunung tertinggi di dunia. Ia mewakili berbagai tantangan, pencapaian, serta hubungan manusia dengan alam. Dalam menjalani perjalanan menaklukkan Everest, pendaki akan menghadapi banyak rintangan dan harus menghormati lingkungan serta masyarakat lokal yang ada di sekitarnya.
Keberhasilan dan kegagalan di Everest akan terus menarik perhatian publik, bukan hanya sebagai sebuah petualangan pribadi. Tetapi juga sebagai sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya pelestarian alam dan budaya. Simak dan ikuti terus informasi terlengkap tentang CRAZY CHINA yang akan kami berikan setiap harinya.