Trump Naikkan Tarif Jadi 245%, China Tegaskan Sikap Tak Takut Perang
Presiden Donald Trump baru-baru ini menaikkan tarif impor produk China menjadi 245%, sementara China menegaskan sikap tegas tak takut perang atas tekanan tersebut.
Meski konflik ini menimbulkan ketidakpastian ekonomi global, China tetap membuka peluang dialog berdasarkan prinsip kesetaraan dan saling menghormati. Ketegangan ini mencerminkan persaingan strategis yang menentukan masa depan hubungan perdagangan kedua negara.
Dalam artikel ini, CRAZY CHINA akan membahas eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China terkait kenaikan tarif impor hingga 245% serta respons tegas China yang menyatakan tak takut perang menghadapi konflik.
Tarif Impor AS Mencapai 245 Persen
Kebijakan tarif yang dikeluarkan Presiden Donald Trump ini diumumkan resmi oleh Gedung Putih pada pertengahan April 2025 dan langsung menghebohkan pasar global. Data resmi menyebutkan tarif impor China yang selama ini sudah mencapai 145% kini dinaikkan secara drastis menjadi 245%.
Peningkatan tarif ini merupakan balasan Amerika terhadap langkah China yang sebelumnya membalas dengan tarif impor sebesar 125% terhadap barang-barang asal AS. Menurut pihak Gedung Putih, pengenaan tarif ini merupakan bentuk tindakan pembalasan terhadap respons agresif Beijing yang dianggap telah menciptakan ketidakseimbangan dalam perdagangan bilateral.
Presiden Trump pun menyatakan bahwa kenaikan tarif ini adalah langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan ekonomi Amerika, terutama dalam menghadapi apa yang ia sebut sebagai praktik perdagangan tidak adil dari China.
Reaksi Tegas China
Menanggapi kebijakan tarif baru AS, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menegaskan bahwa China tidak gentar dan siap menghadapi perang dagang jika memang diperlukan. Namun, ia juga menyampaikan bahwa China tidak menginginkan konflik tersebut terjadi.
Pihaknya tetap mendorong penyelesaian melalui dialog dan negosiasi yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan keuntungan bersama. Lin juga menggarisbawahi posisi China yang konsisten bahwa AS-lah yang memprakarsai perang tarif ini dan menilai tidak ada pihak yang akan menang dalam perang dagang tersebut.
“China tidak bersedia berperang, tetapi tidak takut berperang” tegas Lin dalam pernyataannya yang banyak dikutip media internasional. Sikap tidak takut ini juga dibarengi dengan dorongan bagi AS untuk meninggalkan pendekatan yang dianggap memaksa dan menekan. Beijing menyerukan agar Washington lebih aktif dan konstruktif dalam membuka jalur dialog daripada mengancam dan memeras.
Lin menyatakan, “Jika AS benar-benar ingin menyelesaikan masalah melalui dialog dan negosiasi, AS harus menghentikan pendekatan yang cenderung menekan, berhenti mengancam, dan terlibat dalam dialog yang mendasarkan pada saling menghormati dan menguntungkan”.
Baca Juga:
- Xi Jinping Kunjungi Malaysia, Bawa Pesan China “Better Partner” Dibandingkan AS
- Trump Gebuk China Lagi Dengan Menaikkan Tarif Impor 245%
Dampak Perang Dagang yang Meningkat
Eskalasi konflik tarif ini telah menimbulkan reaksi luas di pasar global dan kalangan pengamat ekonomi dunia. Langkah Trump yang semakin keras memicu kekhawatiran akan ketidakstabilan ekonomi internasional dan dampak negatif terhadap rantai pasok global.
Data menunjukkan bahwa ekspor China ke Amerika Serikat pada triwulan pertama tahun 2025 tetap mengalami peningkatan. Nilainya mencapai US$115,6 miliar meskipun berada di bawah tekanan tarif yang tinggi. Hal ini menggambarkan betapa kuatnya ketergantungan ekonomi antara kedua negara, bahkan di tengah konflik.
Namun, tingginya tarif menyebabkan situasi yang membingungkan baik bagi pelaku bisnis maupun konsumen di kedua negara. Selain itu, bumerang ekonomi perang dagang telah dirasakan oleh sejumlah industri. Terutama sektor aviasi dan teknologi yang sangat bergantung pada pasar kedua negara.
China bahkan menginstruksikan maskapai-maskapainya untuk menghentikan pembelian pesawat dari perusahaan AS Boeing sebagai bentuk solidaritas terhadap perang dagang dan sebagai langkah pembalasan yang nyata.
Strategi Balasan China
Selain tarif impor, China menggunakan senjata strategis lain untuk menekan AS. Salah satunya adalah pengelolaan rantai pasokan logam tanah jarang atau rare earth elements yang sangat vital bagi industri teknologi tinggi seperti elektronik dan kendaraan listrik.
China menguasai sekitar 61 persen produksi global logam tanah jarang. Dalam konteks perang dagang, Beijing menjadikan pembatasan ekspor komoditas ini sebagai langkah balasan terhadap kebijakan AS. Kebijakan tersebut berdampak langsung pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat dan Eropa.
Banyak dari mereka sangat bergantung pada pasokan logam tanah jarang untuk memproduksi teknologi mutakhir. Konsultan logam magnetik melaporkan bahwa pengiriman magnet tanah jarang dari setidaknya lima perusahaan telah dihentikan sejak aturan pembatasan diberlakukan. Hal ini semakin menambah ketegangan dalam hubungan perdagangan antara kedua negara.
Penunjukan Negosiator Baru
Meskipun tensi terus meningkat, China mengambil langkah strategis dengan menunjuk Li Chenggang sebagai negosiator perdagangan barunya. Li merupakan seorang diplomat berpengalaman dan mantan duta besar China untuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Penunjukan ini menunjukkan adanya perubahan pendekatan dalam strategi diplomasi dagang Beijing. Langkah ini juga dianggap sebagai sinyal bahwa China ingin membuka jalur komunikasi yang lebih terbuka dan konstruktif dengan Amerika Serikat
Li dikenal sebagai sosok yang berpikiran terbuka dan mendukung perdagangan bebas. Keahliannya dalam regulasi perdagangan global dan keterlibatannya dalam banding WTO memberi harapan bahwa negosiasi bisa berpeluang menjadi jalan keluar dari konflik yang mengancam stabilitas ekonomi global ini.
Perspektif Pakar dan Analisis Kondisi Saat Ini
Ekonom menyebut bahwa tidak ada pihak yang benar-benar akan menang dalam perang dagang antara AS dan China. Strategi saling balas tarif hanya menciptakan kerugian kolektif dan mengganggu sistem perdagangan dunia yang telah mapan.
Kedua negara sebenarnya sangat saling bergantung satu sama lain. Keretakan hubungan ini membawa konsekuensi serius bagi ekonomi global, termasuk negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada permintaan dan rantai pasokan dari keduanya.
Menurut pakar, kunci dari solusi konflik ini adalah kemampuan kedua taraf untuk meredakan ketegangan dan membuka dialog yang berlandaskan kepercayaan dan kompromi. Kesepakatan seperti Phase One Deal yang dicapai pada 2020 pernah membuktikan bahwa ada ruang untuk perundingan meski keadaan sedang memanas.
Simak dan ikuti terus CRAZY CHINA agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari finance.detik.com
- Gambar Kedua dari www.detik.com