China Tuding AS Punya Kebijakan Bermuka Dua
China Tuding AS dianggap memiliki kebijakan “bermuka dua” bukanlah tanpa dasar dengan berbagai isu yang saling bertubrukan di tingkat internasional.
Pernyataan ini tidak datang begitu saja. Dalam beberapa tahun terakhir, AS dan China telah terlibat dalam berbagai perselisihan yang melibatkan ekonomi, perdagangan, teknologi, dan bahkan isu-isu hak asasi manusia. Beberapa tindakan AS yang dianggap tidak koheren dengan sikap resminya di hadapan dunia internasional dianggap oleh Beijing sebagai contoh kebijakan “bermuka dua” yang merugikan tidak hanya China. Tetapi juga kestabilan global secara umum.
Asal Mula Tuduhan Kebijakan Bermuka Dua
Tuduhan ini pertama kali mencuat ke permukaan setelah China melihat beberapa kebijakan luar negeri AS yang tampaknya bertentangan dengan retorika dan kebijakan yang diumumkan secara terbuka. Salah satu isu terbesar yang diangkat oleh pemerintah China adalah kebijakan AS terkait Taiwan.
Meski AS secara formal mengakui kebijakan One China yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari teritorial China. Kenyataannya AS tetap memperlihatkan dukungan signifikan terhadap Taiwan, baik dalam bentuk penjualan senjata, dukungan politik, maupun keterlibatan dalam latihan militer bersama.
Pernyataan Presiden AS, Joe Biden, yang mengatakan bahwa Amerika akan membela Taiwan jika terjadi serangan dari China. Menambah ketegangan dalam hubungan kedua negara. Meskipun pemerintah AS kemudian berusaha meredam pernyataan tersebut, China melihatnya sebagai contoh nyata dari kebijakan bermuka dua, yang di satu sisi mendeklarasikan prinsip One China. Namun di sisi lain mendukung kemerdekaan Taiwan melalui langkah-langkah yang bertentangan.
Selain itu, dalam bidang perdagangan, kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS terhadap produk-produk China selama pemerintahan Donald Trump juga dianggap sebagai contoh dari kebijakan yang tidak konsisten. Meski AS mengklaim kebijakan ini untuk memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan antara kedua negara.
Kebijakan tersebut pada kenyataannya memengaruhi pasar global secara keseluruhan dan membebani konsumen serta perusahaan-perusahaan Amerika yang bergantung pada barang-barang murah dari China.
Baca Juga: China Untung Gede Jualan Mobil Listrik di RI, Triknya Terbongkar
Kebijakan Perdagangan yang Menyulut Ketegangan
Salah satu isu yang memperburuk tuduhan bermuka dua adalah perang dagang yang dimulai pada 2018 antara AS dan China. Pada saat itu, AS, di bawah pemerintahan Trump, mengenakan tarif tinggi terhadap produk-produk China.
dengan alasan bahwa China tidak adil dalam perdagangan internasional. Terutama terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan kebijakan subsidi terhadap perusahaan domestik. Tindakan ini mendapat respon keras dari China yang juga mengenakan tarif balasan terhadap barang-barang AS.
Namun, setelah Joe Biden mengambil alih kepemimpinan di AS. Beberapa kebijakan perdagangan yang diumumkan tampaknya lebih mendekati pendekatan diplomatik yang berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Meski begitu, beberapa tindakan seperti pengenaan tarif terhadap produk-produk China masih dipertahankan.
Hal ini dilihat oleh China sebagai kebijakan yang tidak jelas dan tidak sesuai dengan pernyataan AS yang sebelumnya menginginkan hubungan perdagangan yang lebih baik dan mengurangi ketergantungan pada kebijakan proteksionisme.
China merasa bahwa AS tampaknya hanya berbicara tentang perbaikan hubungan di satu sisi. Namun di sisi lain tetap menjaga kebijakan proteksionis dan memaksakan pengaruhnya dalam perdagangan global, yang justru merugikan negara-negara berkembang, termasuk China. Dalam konteks ini, China menganggap AS tidak hanya tidak konsisten. Tetapi juga tidak dapat diandalkan dalam hubungan perdagangan jangka panjang.
Isu Hak Asasi Manusia dan Kebijakan Luar Negeri AS
Tuduhan bermuka dua semakin menguat seiring dengan isu-isu hak asasi manusia yang menjadi sorotan internasional. Khususnya terkait dengan perlakuan terhadap komunitas Uighur di Xinjiang. China. Pemerintah AS, bersama dengan beberapa negara Barat lainnya.
Telah mengkritik China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Xinjiang. Termasuk penahanan massal dan penganiayaan terhadap warga Uighur. AS bahkan mengklaim bahwa apa yang terjadi di Xinjiang adalah bentuk genosida.
Namun, di sisi lain, China melihat tindakan AS ini sebagai bentuk campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain. Beijing juga mengingatkan dunia bahwa AS, meskipun mengkritik China. Memiliki sejarah panjang dalam pelanggaran hak asasi manusia sendiri. Terutama terkait dengan perlakuan terhadap kelompok minoritas di dalam negeri. Seperti masyarakat kulit hitam, penduduk asli Amerika, dan imigran.
Selain itu, Amerika Serikat juga memiliki hubungan diplomatik yang erat dengan beberapa negara yang dianggap melanggar hak asasi manusia, seperti Arab Saudi dan Israel. Dalam konteks ini, China menyatakan bahwa AS hanya memperlihatkan kecaman terhadap negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan politiknya.
Sementara di sisi lain, mereka tetap menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara yang juga memiliki catatan buruk dalam bidang hak asasi manusia.